SEBUAH pementasan berjudul Arung Palakka akan dilangsungkan di Taman
Ismail Marzuki, beberapa hari mendatang. Tak banyak yang ta
hu sosok Raja Bugis yang kisahnya dicatat rapi oleh sejarawan Leonard Andaya dalam buku Warisan Arung Palakka.
Luput dari catatan Andaya, saya coba menuliskan episode saat Arung
Palakka datang ke Pulau Buton. Tentu saja, bahan-bahan yang saya gunakan
adalah sumber-sumber lokal, serta tradisi lisan yang berkisah tentang
kedatangan itu. Selamat membaca!
***
INI tahun 1660. Terik masih membakar tatkala perahu pria
bernama Arung Palakka itu menyusuri sungai menuju tepian. Lelaki perkasa
berambut panjang yang ditahbiskan sebagai pahlawan Tanah Bugis itu,
memasuki Negeri Buton demi harapan akan keadilan. Ia bukanlah seorang
pecundang yang jauh melarikan diri ke negeri seberang. Perjalanannya
didorong hasrat humanisme dan kecintaan kepada tanah air. Ia tidak
melihat daerah ini sebagai negeri yang jauh dari negerinya, melainkan
sebuah negeri yang persaudaraannya dengan nenek moyang Bugis sedekat dan
sepenting urat leher bagi manusia. Ia tidak sekadar berkunjung
sebagaimana penjelajah Eropa yang mencari jalan menuju pusat
rempah-rempah. Ia sedang pulang ke tanah leluhur yang telah mewariskan
napas bagi detak jantungnya.
Nenek moyang Bugis dan nenek moyang
Buton telah membuat prasasti persaudaraan abadi untuk saling menjaga
kehormatan masing-masing. Leluhur Bugis menyimbolkan persaudaraan itu
dalam kalimat “Bone ri lau, Butung ri aja.” Bone di Barat dan Buton di
timur. Ini adalah simbolisasi dari persaudaraan yang sesungguhnya telah
memintas batas geografis. Jarak antara dua bangsa adalah jarak atas
kategori dan apa yang tampak. Tapi darah yang sama telah mengaliri nadi
masing-masing sehingga bertaut sebagai dua saudara sekandung. Hikayat
kuno tanah Luwu –yang disebut-sebut sebagai bangsa tertua di jazirah
selatan Celebes—juga mengisahkan tentang orang Wolio –sebagai bagian
dari Buton-- sebagai saudara orang Luwu. Bahkan, lembaran lontarak kuno
La Galigo juga menyebut nama Wolio dalam peta kuno yang menjadi panduan
dalam memahami realitas geografi di masa silam.
Arung Palakka memandang laut. Batinnya menerawang menelusuri ingatan
tentang nasib diri dan negerinya. Pada masa itu, Gowa sudah tercatat
sebagai negeri yang tengah berkilau di Nusantara. Gowa adalah negeri
terkuat, memiliki bala tentara yang dahsyat dan disegani bangsa-bangsa
lain yang di hembus belahan angin timur. Gowa mencatat prestasi sebagai
bangsa yang punya keinginan besar merengkuh ilmu pengetahuan. Kerajaan
Gowa unggul dalam hal teknologi. Orang Gowa telah menerjemahkan naskah
pembuatan meriam dari bahasa Spanyol ke bahasa Makassar sejak tahun
1600. Kitab yang ditulis Andreas Moyona asal Spanyol itu hanyalah satu
dari banyak kitab risalah teknologi Eropa yang ditransliterasi ke bahasa
Makassar[1] dan membuat Gowa tercatat sebagai satu-satunya negeri di
Nusantara yang paling intens memasuki bidang-bidang ilmiah di abad
ke-17.
Melalui ilmu pengetahuan, bangsa Gowa membangun
persenjataan yang handal demi menghadapi bajak laut yang mengganas di
perairan Nusantara, sekaligus memulai proses ekspansi ke bangsa-bangsa
lain. Melalui persenjataan yang dahsyat serta hasrat kuasa yang
menghinggapi para bangsawannya, Gowa begitu percaya diri ketika
menantang Belanda untuk berperang dan menunjukkan siapa pemilik
supremasi sesungguhnya di lautan sekaligus memulai proses ekspansi ke
bangsa-bangsa lain.
Ini adalah tahun di mana politik terus
bergejolak di masyarakat jazirah selatan Sulawesi. Sejak abad ke-16,
pada masa Karaeng Tumaparisi Kallona, Kerajaan Gowa telah mengekspansi
seluruh wilayah Sulawesi bagian selatan. Kebijakan ekspansi ini memicu
perlawanan yang dahsyat dari berbagai wilayah. Arung Palakka mencuat
sebagai sosok yang terpanggil untuk membebaskan derita bangsanya.
Batinnya terluka ketika menyaksikan puluhan ribu bangsa Bone yang
dipekerjakan untuk menggali parit dan membuat kubu pertahanan di
sepanjang Benteng Somba Opu. Gowa memang tengah membentengi diri dari
berbagai ancaman, namun di saat bersamaan juga berprilaku laksana
pasukan penebas mereka yang tidak bersepakat di bawah panji kebesaran.
Namun, apalah arti keperkasaan jika tidak diimbangi dengan rasa
keadilan. Keperkasaan mestinya digunakan untuk melidungi segenap suku
bangsa, dan bukannya untuk menjajah yang lain. Meskipun besar di Istana
Gowa, harga diri dan kehormatan Arung Palakka sebagai bangsa Bugis
seakan tercabik-cabik menyaksikan ketidakdilan di depan mata. Dalam
dirinya mengalir sifat-sifat utama seorang manusia Bugis. Ia memelihara
nilai keutamaan manusia Bugis yang meliputi siri’’ (harga diri atau
kehormatan dan rasa malu), pacce (perasaan sakit dan pedih atas
penderitaan saudara sebangsa), dan sare (kepercayaan bahwa seseorang
dapat memperbaiki atau memperjelek peruntungannya dalam hidup ini
melalui tindakan orang itu sendiri). Ia menyadari lebih baik mati untuk
mempertahankan siri’ (mate’ siri’na) ketimbang hidup tanpa siri’ (mate’
siri’). Bukankah kata nenek moyang Bugis mati dengan penuh kehormatan
adalah matinya para ksatria yang berumah di atas landasan nilai?
Ia meninggalkan tanah Bugis dengan ikrar untuk kembali membuat
perhitungan. Semangatnya menyala kala mengingat bangsanya yang
terabaikan. Di pundak pria itu terselip beban sejarah serta amanah untuk
membebaskan sebuah bangsa, menegakkan kalimat keadilan, dan menguatkan
yang lemah. Menurut tradisi lisan Bugis, ia mengucapkan sumpah agar
kelak bisa kembali dan membebaskan rakyat Bugis. Ia mengikat (singkerru)
sebuah simpul dengan sulur sebuah pohon yang tumbuh di pantai untuk
menandai pengucapan sumpahnya dan berkata dirinya akan membuka simpul
itu jika telah memenuhi sumpahnya.[2] Kata-kata itu menjadi janji yang
kemudian mengantarkan dirinya saat menaiki kapal yang membawanya ke
negeri Buton. Inilah sebuah babakan sejarah yang menandai proses suaka
politik pertama di negeri ini.
Di tanah Buton, negeri para sufi
dan auliya itu bisa menampung dan menjadi tempat bernaung dari panas dan
hujan. Penduduk di pusat pemerintahan menamakan dirinya orang Wolio,
sebagai tanda akan hasrat yang teramat kuat di ranah spiritualitas.
Wolio diyakini berasal dari kata waliyullah, yang artinya seseorang yang
sangat dekat dengan Allah. Maka kecintaan kepada Allah menjadi sumbu
utama yang melandasi gerak masyarakat.
Saking cintanya kepada
Allah, manusia-manusia Buton bersedia melindungi apapun mahluk Allah
yang singgah ke tanah ini. Di sini bisa dibentangkan hukum tawakara yang
mewajibkan para pejabat kesultanan untuk melindungi siapapun yang
datang mencari perlindungan. Inilah konsep suaka politik yang paling
awal dalam sejarah Nusantara.
Arung Palakka bukanlah yang pertama
menuai berkah atas hukum ini. Sebelumnya, tercatat sekurang-kurangnya
dua peristiwa di mana kesultanan memberikan perlindungan kepada mereka
yang terdampar. Peristiwa pertama adalah ketika kesultanan melindungi
Raja Gowa ke-13 yakni Karaeng Tunipasulu, yang merupakan kakak Sultan
Alauddin (Raja Gowa ke-14) yang juga merupakan kakek Sultan Hasanuddin.
Tunipasulu tiba pada tahun 1602 dan tinggal di Buton hingga saat mangkat
pada 5 Juli 1617. Ia dikuburkan di dalam Benteng Wolio dan menjadi
seorang ulama yang cukup disegani.
Perlindungan atau suaka
politik yang kedua diberikan Sultan Mardan Ali (1647 – 1654) kepada anak
buah kapal (ABK) lima kapal Belanda yang terdampar di Kabaena. Meskipun
rakyat merampok kapal tersebut sehingga Belanda murka besar, namun
Sultan Mardan Ali telah memberikan perlindungan kepada orang Belanda
tersebut, bahkan menyiapkan rumahnya untuk menjadi tempat penampungan.
Peristiwa ini dicatat oleh seorang anak buah kapal (ABK) dalam bahasa
Jerman dan tersimpan rapi. Peristiwa ini pula yang menjadi cikal-bakal
dari martirnya Mardan Ali demi menegakkan nilai yang dyakininya. Ia
mengorbankan diri dan dicatat lembar sejarah sebagai tragedi seorang
sultan yang dieksekusi mati demi tegaknya hukum dan aturan nilai.
Catatan itu menegaskan satu fakta bahwa karakter perlindungan
dimanifestasikan pihak kesultanan tanpa pandang bulu, bahkan kepada
musuh sekalipun.
Bagi masyarakat Buton, Arung Palakka bukanlah
orang lain. Silsilah yang disimpan banyak warga setempat menyebutkan
dirinya adalah seorang saudara yang sedekat urat leher. Di sini, ia
lebih dikenal sebagai La Tondu, keturunan langsung La Kabaura yang
merupakan satu dari empat anak La Maindo, Raja Batauga. Dari garis
keturunan La Kabaura, terdapat nama Sabandara iBone, yang kemudian
menurunkan La Tenritatta atau Arung Palakka[3]. Versi lokal ini tumbuh
subur dan dipelihara sebagai keyakinan tentang riwayat pahlawan tanah
Bugis ini.
Tahun 1660, Tanah Wolio adalah bagian dari jalur
perdagangan internasional[4]. Hilir mudik kapal yang singgah ke belahan
timur Nusantara, juga menyempatkan diri ke tanah ini. Sebagai negeri
yang menjadi urat nadi penting bagi mata rantai perdagangan dan jaringan
antar pulau di kawasan Nusantara, Buton berposisi penting hingga
menyilaukan mata bangsa-bangsa Eropa serta Portugis yang tengah berebut
jalur perdagangan rempah-rempah. Kedatangan bangsa Eropa menjadi awal
dari silang budaya serta dinamika globalisasi. Maka wawasan
masyarakatnya mulai mengangkasa seiring dengan mitos tentang perahu yang
menembus belahan bumi manapun. Maka mulailah abad baru penguasaan atas
laut. Orang Buton telah berhasrat untuk menjangkau lautan, mengunjungi
negeri-negeri yang jauh sekaligus mengembangkan kebudayaan bahari yang
perkasa.
Dengan segala kebersahaannya, mereka telah membuktikan
dirinya sebagai pelaut tangguh yang mengunjungi segenap pesisir pantai
demi mencari penghidupan sekaligus membangun peradaban yang meskipun
tidak begitu benderang dalam torehan sejarah, akan tetapi dilingkupi
nilai-nilai kebajikan dan spiritualitas. Jejak mereka sebagai pelaut
tertoreh di negeri-negeri belahan timur, mulai Ternate, Tidore, hingga
Papua. Petualangan mereka juga berhembus seiring angin hingga tanah
marege (Australia sebelah utara), pada tahun-tahun yang jauh sebelum
datangnya bangsa Inggris ke tanah luas itu.
Mereka memang tidak
membangun satu peradaban besar dengan pilar-pilar ilmu pengetahuan yang
kokoh, namun mereka meletakkan landasan spiritual serta keyakinan
tentang kebudayaan yang dikuatkan oleh nilai kebajikan dan kemanusiaan.
Karakter mereka adalah serupa angin yang menyebar, namun dengan segera
bisa menjelma sebagai warga lokal yang menyemarakkan iklim
multikuturalisme di satu kawasan. Melalui Islam yang masuk sejak abad
ke-15 --lebih awal dari Gowa-, orang-orang Buton telah mematrikan
seluruh kecintaannya kepada jalan spiritual melalui perjalanan yang
kemudian mengislamkan beberapa tempat di kawasan timur.
Buton
adalah negeri para sufi. Ungkapan ini sudah lama terpatri di benak para
penjelajah yang mengitari perairan Nusantara. Bahkan di masa ketika
Islam belum bergema di tanah ini, catatan kuno Negarakertagama yang
tersohor di Majapahit juga menyebutkan Buton sebagai negerinya para
resi, sebagaimana kutipan berikut:
Desa keresian seperti berikut :
Sampud, Rupit dan Pilan Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi
Butun. Di situ terbentang taman didirikan lingga dan saluran air. Yang
Mulia Mahaguru demiklan sebutan beliau. Yang diserahi tugas menjaga
sejak dulu menurut Serat Kekancingan. Selanjutnya desa perdikan tanpa
candi, di antaranya yang penting : Bangawan, Tunggal, Sidayatra, Jaya
Sidahajeng, Lwah Kali dan Twas. Wasista, Palah, Padar, Siringan, itulah
desa perdikan Siwa.[5]
Dalam terminologi Hindu, resi identik
dengan sosok bijaksana yang memberi jawab atas segala tanya yang
menyangkut zaman. Resi adalah seseorang yang memiliki kualitas
kecendekiaan dan memandang zaman dengan penuh bijaksana. Resi adalah
mereka yang berumah di bumi, sekaligus berumah di langit demi mencari
jawaban atas segala problem yang bertunas di bumi. Jika Buton adalah
negeri para resi, maka di tempat ini bisa ditemukan tradisi kearifan
yang sudah lama berurat akar dengan masyarakatnya.
Tapi Buton
bukanlah negeri Hindu. Buton memproklamirkan dirinya sebagai negeri
Islam, yang mewariskan estafet kepemimpinan keislaman sejak masa
Rasulullah. Setiap sultan, selalu mendapat gelar khalifatul khamis,
sebagai perlambang dari khalifah kelima yang melanjutkan tradisi
kepemimpinan empat khalifah yang bijaksana, mulai dari Abu Bakar Shiddiq
hingga Ali bin Abi Thalib. Di tanah Buton, kecintaan kepada Rasulullah
dan tradisi kearifan adalah sesuatu yang tak bisa ditawar. Mungkin, atas
alasan ini pula, bangsa ini sedemikian membuka diri pada pustaka dan
khasanah tasawuf yang berdatangan dari berbagai bangsa mulai dari Aceh
hingga Timur Tengah. Kecintaan pada khasanah tradisi Islam telah membuka
gerbang ilmu hingga membumikannya pada segenap ritual, tata cara
pemerintahan, dan mekanisme hubungan antara pemimpin dan rakyatnya.
Islam adalah kemudi ke arah mana kesultanan bergerak laksana kapal yanga
anggun dan membelah lautan. Islam adalah layar. Islam adalah pelita,
mercu suar di tengah kegelapan.
***
Arung Palakka yang
ditemani sejumlah tubarani (ksatria) Bugis memandang daratan. Di pesisir
pulau karang itu, ia menyaksikan berbagai perahu jenis lambo,
sope-sope, dan perahu kecil yang dinamakan koli-koli. Ia sadar bahwa
perahu yang berjajar itu digunakan masyarakat tidak sekadar sebagai
untuk mengitari kepulauan yang bernaung di bawah payung kesultanan.
Namun perahu itu juga digunakan para pelaut sebagai kanvas temlat mereka
melepaskan ekspresi kecintaan atas laut.
Ia menyaksikan sebuah
bandar atau pelabuhan yang ramai. Beberapa pejabat Belanda telah
mengabarkan betapa ramainya perdagangan di wilayah tersebut. Menurut
catatan Gubernur Ambon Antonio Van den Heuvel, kapal-kapal di Buton
hilir mudik memperdagangkan padi dan emas. Berita lain didapatkan dari
catatan Kerckingh, seorang saudagar Melayu di Malaysia yang mengatakan
bahwa armada sejumlah 25-40 kapal yang membawa kain tenun, padi,
porselen, dan sejumlah besar koin berangkat dari Malaysia ke Ambon
setiap tahun.
Dalam pelayaran tersebut, mereka singgah ke Buton
untuk melakukan pertukaran kain yang berlangsung di atas kapal. Laporan
resmi pemerintah Hindia Belanda juga mengisahkan kegiatan ekonomi. Buton
melakukan import tekstil dari India (selampurri dan gerrasen), bahan
pakaian, kelapa, padi, garam, dan gula coklat. Sementara Buton juga
melakukan eksport yakni teripang, lilin, bahan pakaian, peti kayu, dan
kayu damar (harpuis).
Di tepi pelabuhan itu, saudaranya Sultan
Malik Sirullah (Sultan Buton ke-9) atau kerap disapa La Awu telah
menyambutnya. Di tanah ini, sosok seorang sultan bukanlah sosok jagoan
yang menaklukan banyak kerajaan. Sosok sultan adalah sosok yang
melepaskan segala naluri dunianya demi memilih jalan spiritual. Seorang
sultan adalah pemimpin yang memberikan ketenangan, memberikan bimbingan
spiritual, dan menguatkan seluruh anak bangsa. Ditemani sultan, Arung
Palakka menyaksikan pelabuhan yang ramai, kapal-kapal yang singgah,
serta betapa sigapnya para juru bahasa yang merupakan staf dari
sahbandar untuk menemui para nakhoda atau kelasi. Ia mengamini pendapat
Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen yang terkagum-kagum saat
melihat pelabuhan bagus dan aktivitas ekonomi.
Ia lalu bergerak
menuju pusat kota Wolio. Ia melihat benteng besar yang mengelilingi
pusat pemerintahan masa kesultanan. Benteng itu terbuat dari batu hitam
yang kokoh dan menutupi seluruh perkampungan. Hampir pasti, ia akan
membandingna konstruksi bebatuan itu dengan benteng-benteng buatan VOC
di banyak negeri. Juga dnegan Benteng Sombaopu yang dibangun orang-orang
Makassar. Benteng ini jelas lebih luas, lebih kokoh, dengan konstruksi
yang menantang laut lewat meriam-meriam yang mengacung. Ia juga melihat
sebuah tiang bendera yang dari kejauhan mengibarkan panji kebesaran
Kesultanan Buton. Jarak benteng dan lautan sekitar tiga kilometer.
Pemilihan Wolio sebagai pemukiman tampaknya disebabkan kondisi geografis
wilayah ini yang sangat strategis dari segi pertahanan dan ekologis.
Benteng kokoh itu membersitkan sebuah refkeksi tentang keadaan wilayah
yang setiap saat menghadapi risiko ketidakamanan dan ancaman. Bajak laut
adalah momok yang menggetarkan saraf ketakutan masyarakat. Entah sejak
kapan bajak laut asal Tobelo mulai merajalela di lautan, namun bisa
dilacak sejak Kerajaan Ternate menggunakan perahu dan tenaga mereka
untuk ekspedisi lintas laut. Perairan Sulawesi di abad ke-17 adalah
perairan yang serupa medan laga sebab dipenuhi bajak laut yang mengganas
dan kerap menghancurkan pemukiman penduduk. Sedemikian tersohornya
bajak laut Tobelo hingga dicatat dalam syair Kerajaan Bima dengan
kalimat, “Riuh rendah ia mengangkut// berjalan beriring seperti semut//
rupanya bagai setan mengerbang rambut// tubuhnya hitam memakai
kancut.[6]
Selain ancaman dari bajak laut, Kesultanan Buton juga
menghadapi ancaman dari beberapa kerajaan besar yang hendak
mencengkeram. Maka ratusan benteng didirikan demi menghada[I ancaman
tersebut serta memberikan perasaan aman kepada seluruh anak negeri.
Sedmikian banyaknya ancaman tersebut bisa dilihat pada syair yang
berikut:[7]
Mopangurapina motingarapina lipu
Moneyatina bemohumbunina kota
Siymbau Gowa atoluwu Otobungku
Tee malingu saro simbapuyana
Soopodo maka moto penena gunana
Temola hina ampadeyana ilipu
Asadaa daan sakiaiya zamani
Owalanda indamo tee dimbana
Kaapaaka karana tongko indapo
Tee walanda ipiya malona yitu
Adika timbu tajagani taranate
Tajagani Gowa tongkona adika bara
Samatangkana loji imatanaeyo
Amarosomo kota I sukanayo
Amatangkamo mboorena lipu siy
Akosaomo labu rope labu wana
Yang berkehendak menundukkan negeri
Yang berniat menerang benteng
Seperti Gowa, Luwu, dan Tobungku
Dan segala yang disebut mau menyerang
Ringkasnya yang teramat gunanya
Dan yang terlebih gunanya di negeri
Tetap selama-lamanya jaman
Belanda yang tak ada bandingannya
Sebab karena waktu belum ada
Dengan Belanda beberapa waktu lalu
Musim Timur kita menjaga Ternate
Menjaga Gowa waktunya musim barat
Setelah kuat loji di timur
Teguh tertiblah benteng di barat
Sudah kuat kedudukan negeri ini
Bernama berlabuh di lautan, berlabuh buritan
Maka pemukiman di perbukitan adalah solusi terbaik. Perbukitan itu
secara alamiah menjadi benteng terjal yang menyulitkan siapapun yang
hendak menghancurkan kota. Wilayah perbukitan juga memudahkan untuk
mengawasi Selat Baubau sebagai pintu gerbang utama menuju kota. Dinamika
perkotaan kemudian dipusatkan di atas bukit, pada tempat yang
dikelilingi bebatuan yang membentuk sebuah benteng perkasa. Wilayah
Wolio yang terletak di atas bukit, berhadapan dengan Selat Baubau
sebagai pintu gerbang utama keluar masuk wilayah Kota Buton. Selain itu,
pebukitan yang terjal itu sekaligus merupakan benteng pertahanan alami
yang menjaga kedaulatan wilayah.
Maka benteng ini adalah awal
dari sebuah peradaban. Bahwa di tengah segala bentuk serangan yang
datang, maka berumah di dalam benteng adalah satu solusi terbaik demi
melancarkan perahu kesultanan membelah samudera kehidupan. Pilihan untuk
berumah di dalam benteng, kemudian menjadi awal dari mekarnya sebuah
peradaban serta dinamika yang kemudian tercatat dalam lembar sejarah.
Sungguh mencengangkan melihat sumber-sumber tradisional tentang sejarah
Buton justru senantiasa menyebut kata kota yang oleh beberapa sejarawan
setempat diartikan sebagai kata benteng. Beberapa naskah klasik
kabanti[8] Ajonga Inda Malusa yang ditulis Haji Abdul Ganiu atau
Kenepulu Bula[9] menyebut kota untuk kawasan pebukitan yang dikitari
benteng, sebagaimana disaksikan Arung Palakka
Siympompuu yingkoo ukakaangi;
Ohukumu bhey malapeyakana;
Sabharaaka miya iparintangimu;
Bholi yanggea sabhara oni mosala;
Simbou waye isarongi masabuna;
Ikumbewaha tongkona apewau kota;
Amufakamo sabhara Siolimbona;
Tee malingu sabhara miya ogena;
Tee moduka sabhara miya kidina;
Asaangumo manga bheya pasabua;
Alawanimo amendeyupo asabu;
Tabeyanamo padhapo amondo kota;
Amondoaka kota siy kuundamo;
Apasabuaku yindamo bheku mendeyu;
Amondo kota aminamo ikarona;
Apepepasabu miya bhari agagamo;
Amendeumo manga bhea pasabua;
Akamatamo rouna ampadeana;
Wakutuuna apewau kota yitu;
Apaddemea sabhara arataana;
Amembalimo ikandena isumpuna;
Omiya bhari mokarajaana kota;
Baru saja engkau kokohkan;
Hukum untuk memberbaikinya;
Segenap rakyat yang engkau perintah;
Jangan peduli segala kata yang salah;
Konon yang disebut memakzulkan diri;
Di Kumbewaha ketika membuat benteng;
Telah mufakat segenap Siolimbona
Dan dengan segenap orang besar;
Dan juga segenap rakyat kecil;
Telah bersatu mereka memakzulkannya;
Dia menjawab belum mau makzulkan diri;
Kecuali sudah selesai Benteng;
Selesai benteng ini aku sudah mau;
Dimakzulkan tidak lagi kutolak;
Selesai benteng sudah dari dirinya;
Bermohon berhenti rakyat sudah menolak;
Mereka menolak untuk dimakzulkan;
Karena menyaksikan wujud kegunaannya;
Ketika ia membuat benteng itu;
Habislah segala hartanya;
Telah menjadi makanan dan minuman;
Rakyat yang mengerjakan benteng; [10]
Lantas jika benteng itu adalah sebuah kota apakah yang bisa ditemukan
di sana? Arung Palakka menyaksikan sebuah gerak yang serba tertata. Di
situ terdapat penataan ruang-ruang tradisional untuk pemukiman,
pemerintahan, maupun spiritual. Ini juga bisa ditemukan pada lanskap
benteng-benteng yang ada di Eropa. Dalam hal benteng, penataan ruang
tersebut sudah dilakukan, sehingga bisa disimpulkan bahwa konsep kota
modern sudah berkembang di wilayah tenggara Sulawesi ini.
Mengapa
pula orang Buton menyebut wilayah itu sebagai kota? Dalam sejumlah
catatan, kata kota berasal dari kata kutho (istilah Sansekerta) bermakna
bangunan tembok keliling yang berfungsi sebagai pengaman dan pembentuk
ruang lingkungan. Beberapa bangsa membangun pemukiman (intra muros) baik
raja dan kerabat, para bangsawan serta masyarakat dalam sebuah kawasan
yang disebut kota. Dalam pengertian yang lebih luas kutho menjadi tempat
aktivitas ekonomi, politik, administrasi pemerintahan, kegiatan
keagamaan dan pusat informasi. Karena kutho menjadi pusat informasi
tentu saja akan ditunjang oleh pembangunan infrastruktur.
Selain
itu kota juga dimaknai sebagai kumpulan individu dan kelompok
organisasi dengan jumlah yang sangat besar. Pada masa itu, keragaman
adalah bagian dari tumbuhnya Wolio sebagai pusat peradaban di masa
Kesultanan Buton. Kota Wolio tumbuh dari dinamika antar pendatang dan
warga pribumi yang lalu bersepakat membentuk sebuah kerajaan besar. Maka
tidak mengherankan jika penduduk masa itu terdiri atas bangsa-bangsa
dan aneka etnik yang diikat dalam satu paying hokum yang sama.
Heterogenitas lalu meniscayakan interaksi yang memperkukuh eksistensi
masing-masing baik itu ras, kerabat, profesi, agama dan lain sebagainya.
Sungguh indah menyaksikan keragaman yang dikelola dalam bingkai
filosofi nenas, sebagai filosofi kesultanan. Di tubuh nenas itu terdapat
72 duri yang merupakan simbol dari keragaman atau heterogenitas yang
memenuhi jazirah Pulau Buton.
Selain pelukisan tentang filosofi,
di benteng itu juga terdapat fasilitas ekonomi, fasilitas perdagangan,
fasilitas pelabuhan nelayan, hingga fasilitas keagamaan. Benteng Wolio
memiliki tata ruang yang terdiri atas perkampungan penduduk dan
fasilitas umum yang kompleks. Fasilitas yang bisa ditemukan di sini
adalah pasar alun-alun, tempat peribadatan, pertahanan, dan makam.
Bahkan, di benteng ini bisa pula ditemukan fasilitas administrasi dan
pemerintahan (baruga), serta fasilitas pendidikan. Pada masa Sultan
Dayanu Ikhsanuddin (1597 – 1631) yang bijaksana, telah berdiri sebuah
pesantren yang dinamakan Pesantren Sin. Siapapun warga masyarakat yang
hendak menekuni pendidikan dan keagamaan berhak memasuki pesantran ini
dibawah bimbingan para guru yang beberapa di antaranya telah mendapatkan
pendidikan di Timur Tengah.
Sementara pemukiman dibangun dengan
mengelilingi masjid keraton, pasar dao bawo, dan di lapangan, atau
alun-alun. Menurut sejarah, di sekitar pasar terdapat juga bangunan
baruga sebagai tempat sultan dan para pembesar kerajaan mengadakan
musyawarah atau rapat. Dengan demikian, fasilitas ekonomi, peribadatan,
dan administrasi terpusat di wilayah tengah benteng Wolio.
Di
bawah bukit terdapat Kampung Lamangga dan Kampung Katobengke yang
menyangga perdagangan di Baubau, serta pelabuhan nelayan di Kotamara.
Kampung Lamangga adalah tempatnya perajin kuningan, sedang Katobengke
adalah tempatnya para perajin gerabah. Awal abad ke-17, Wolio sudah
berkembang menjadi pemukiman yang padat. Mulanya, pemukiman itu terdiri
atas sembilan kampung dan masing-masing dipimpin seorang menteri yang
disebut Bontona Siolimbona. Secara keseluruhan, terdapat 72 kadie atau
perkampungan yang membentuk mata rantai kesultanan.
Tidak
tergerakkah Arung Palakka menanyakan di mana posisi istana sultan?
Apakah ia membayangkan sebuah bangunan atau istana yang megah dengan
banyak penjaga serta wanita cantik sebagaimana wilayah lain? Arung
Palakka terkejut saat mendapatkan jawaban bahwa di sini, istana tidaklah
menempati satu areal khusus dan tidak menjadi pusat bagi pendirian
bangunan-bangunan di sekitarnya. Ini terkait dengan filosofi kekuasaan.
Jika di tanah Jawa, kekuasaan raja dianggap setara dengan dewa atau
wakil Tuhan yang diwariskan secara turun-temurun. Ini tercermin pada
bangunan tempat tinggalnya atau keratin yang dibangun dengan segala
kemegahan, dan dijadikan sentrum kuasa politik dan administrasi serta
titik sentral bagi pendirian bangunan di sekitarnya.
Di tanah
Buton, seorang Sultan dipilih dan diangkat oleh rakyat. Ketika seorang
sultan baru diangkat, biasanya disertai dengan pendirian sebuah istana
baru sebagai tempat tinggal. Dengan demikian, istana seorang sultan
hanya semata berfungsi sebagai tempat tinggal dan bukan sebagai pusat
pemerintahan. Inilah sebab mengapa posisi istana bisa berada di mana
saja.
Letak istana tidak dibedakan dari rumah penduduk, dalam
artian bisa dibangun di mana saja, sepanjang masih berada di benteng
Wolio. Tapi, istana tersebut memiliki bentuk rumah yang berbeda dengan
warga kebanyakan. Atap istana yang bertingkat dua, sedangkan atap rumah
penduduk di sekitarnya hanya bertingkat satu. Filosofinya sangat dalam
bahwa setiap manusia memiliki derajat yang sama di hadapan Tuhan, hanya
ketakwaan dan kearifanlah yang menjadi pembeda kualitas seseorang. Bahwa
seorang pemimpin atau sultan berasal dari masyarakat, merupakan sosok
yang tumbuh dan besar di masyarakat kebanyakan, dan kelak akan mengemban
amanah untuk masyarakat banyak.
***
Laksana dua sisi koin
kemanusiaan yang saling melengkapi yakni maskulinitas dan feminitas,
benteng ini menyimpan lapis kisah yang bukan saja kisah-kisah
keperkasaan atau keberanian untuk menetak hulu ledak kelemahan musuh. Di
benteng ini terdapat pula kisah tentang ketulusan serta cinta kasih
yang dituturkan dari abad ke abad. Kisah ketulusan termaktub dalam
pengorbanan para sultan untuk menegakkan benteng.
Sejarah
mencatat bahwa landasan pembangunan benteng itu telah dimulai ketika
pria yang disebut berasal dari negeri seberang, Dungkucangia, meletakkan
landasan penyusunan benteng pada tahun 1309. Pekerjaan ini kemudian
diteruskan oleh Sultan La Sangaji. Ketika musim paceklik mencekam negeri
pada tahun 1595, pekerjaan itu terjenti selama kurang lebih dua tahun.
Hingga akhirnya La Sangaji mangkat, dan selanjutnya pekerjaan itu
diteruskan oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin pada tahun 1612 hingga 1616.
Namun ketulusan yang dibarengi tanpa kenal lelah ditunjukkan Sultan
Gafulr Al Wadud pada tahun 1638 hingga 1645. Sososk yang dipanggil La
Buke ini telah mengambil-alih misi penyelesaian benteng yang tidak
terselesaikan oleh para sultan terdahulu. Ia yakin dengan
seyakin-yakinnya bahwa benteng adalah mekanisme perlindungan yang paling
dibutuhkan masyarakat.
Ia kukuh untuk menuntaskan benteng ini,
meskipun banyak pihak yang menentangnya. Ketika rakyat memprotes karena
tidak bisa menjalankan aktivitas kesehariannya akibat harus
menyumbangkan tenaga demi pembangunan benteng, ia tetap bersikeras agar
benteng itu dituntaskan. Ia menyatakan siap mengundurkan diri ketika
pekerjaan itu telah dituntaskan. Peristiwa ini digambarkan secara
dramatis dalam naskah kabanti yang disusun Abdul Ganiu:
Siympompuu yingkoo ukakaangi
Ohukumu bhey malapeyakana
Sabharaaka miya iparintangimu;
Bholi yanggea sabhara oni mosala;
Simbou waye isarongi masabuna
Ikumbewaha tongkona apewau kota;
Amufakamo sabhara Siolimbona;
Tee malingu sabhara miya ogena;
Tee moduka sabhara miya kidina;
Asaangumo manga bheya pasabua;
Alawanimo amendeyupo asabu;
Tabeyanamo padhapo amondo kota;
Baru saja engkau kokohkan;
Hukum untuk memberbaikinya
Segenap rakyat yang engkau perintah;
Jangan peduli segala kata yang salah;
Konon yang disebut memakzulkan diri
Di Kumbewaha saat membuat benteng;
Telah mufakat segenap Siolimbona;
Dan dengan segenap orang besar
Dan juga segenap rakyat kecil
Telah bersatu mereka memakzulkannya
Dia menjawab belum mau makzulkan iri;
Kecuali sudah selesai Benteng;
Syair ini menyebutkan betapa La Buke hendak dimakzulkan atau dikudeta
oleh banyak kelompok yang tidak menginginkan proses pembangunan
megaproyek tersebut. La Buke meneruskannya, meskipun mesti mengorbankan
kekayaan pribadi yang dimilikinya. La Buke tercatat sebagai sosok paling
konsisten yang mengerjakan sesuatu hingga tuntas. Ketika desakan itu
makin kuat, ia meminta penangguhan hingga pekerjaan besar itu
terselesaikan.
Amondoaka kota siy kuundamo;
Apasabuaku yindamo bheku mendeyu;
Amondo kota aminamo ikarona;
Apepepasabu miya bhari agagamo;
Amendeumo manga bhea pasabua;
Akamatamo rouna ampadeana;
Wakutuuna apewau kota yitu;
Apaddemea sabhara arataana;
Amembalimo ikandena isumpuna
Omiya bhari mokarajaana kota;
Selesai benteng ini aku sudah mau
Dimakzulkan tidak lagi kutolak
selesai benteng sudah dari dirinya;
Bermohon berhenti rakyat sudah menolak
Mereka menolak untuk dimakzulkan
Karena saksikan wujud kegunaannya;
Ketika ia membuat benteng itu;
Habislah segala hartanya;
Telah menjadi makanan dan minuman;
Rakyat yang mengerjakan benteng;
Yang menakjubkan, ketika semua pekerjaan itu selesai, ia memilih untuk
mengundurkan diri. Ia tidak bersedia untuk memperpanjang kekuasaannya.
Ia memilih untuk lebur bersama masyarakat banyak, setelah terlebih
dahulu memberikan pesan-pesan filosofis. Ia mengatakan bahwa siapapun
yang hendak memperjuangkan negara, maka tidak seyogyanya menumpang pada
kebesaran dan kekuasaan. Sebab kekuasaan hanyalah tumpangan atas
kewajiban dan amanah. Secara lengkap bisa dibaca pada syair berikut;
Neupeelu ukakaroaka lipu tee mia bhari;
Bholi mpuu usawi ikawasa tee kapooli;
Kawasa tee kapooli siytu
Osawikana kawajiba tee amaanati;
Pakeyana mangayincema
mosungkuna yincana;
Mobhanguna Lipu tee molape lapena miya bhari
Osiytumo ikeniakana Sara Pangka;
Tee malingu sabhara Siolimbona;
Itumindana manga mokenina kapooli; Mosuungina Bhawana Khalifatul Khamis;
Bholi mentaga Neakawamo sababuna isabuaka;
Ihilasimo bholimo bheyu mentaga;
Osiytumo isarongiyaka pakeya molabhi;
Ee komiyu malinguaka mokenina kapooli;
Yinda yindamo arataa somanamo karo; Yindamo karo somanamo lipu;
Yinda yindamo lipu somanamo sara;
Yinda yindamo sara somanamo Agama;
Osiytumo pakeya kawolioa; Idhikana siwuluta molabhina;
Jika ingin memperjuangkan negara dan rakyat;
Jangan menumpang pada kebesaran dan kekuasaan
Kebesaran dan kekuasaan itu
Tumpangan kewajiban dan amanah;
Pakaian bagi siapa yang sesungguh hati;
Membangun negara dan memperbaiki rakyat;
Itulah pegangan eksekutif
Dan semua Legislatif;
Yang dipahami semua pemegang kekuasaan; Yang menjunjung beban Khalifatul Khamis;
Jika telah cukup syarat dimakzulkan;
Ikhlaskan sudah jangan menolak;
Itulah yang dinamakan pakaian kemuliaan;
Hai kalian pemegang kekuasaan;
Hilang hilanglah harta asalkan diri; Hilang hilanglah diri asalkan Negara;
Hilang hilanglah Negara asalkan pemerintah; Hilang hilanglah pemerintah asalkan Agama;
Itulah Pakaian ke-Wolio-an; Yang diwariskan leluhur yang mulia;
Tekad La Buke untuk menyelesaikan benteng ini adalah cerminan dari
keteguhannya menyelesaikan sebuah pekerjaan yang tertunda, sekaligus
kecintaannya kepada masyarakat banyak. Tekad ini juga ditunjukkannya
ketika pada Gubernur Jenderal Van Diemen yang berkunjung ke Buton tahun
1637. Ia menolak menandatangani satupun perjanjian. Sikap keras dan non
kompromi yang dianut Sultan Gafur Al Wadud bahkan sangat mengkhawatirkan
legislative Kesultanan Buton yang bersikap lunak kepada Kompeni
Belanda.
Selain kisah keteguhan Sultan La Buke, benteng ini juga
menyimpan lapis kisah tentang patriotism seorang wanita bernama Wa Ode
Wau. Perempuan bangsawan ini adalah salah satu perempuan terkaya dalam
sejarah Buton. Tak hanya kaya, ia juga mendermakan kekayaannya demi
bangsa.
Menurut kisah yang beredar di masyarakat, pada setiap
musim ia akan menyerahkan sebaki emas dan perak kepada Sara Kesultanan
untuk biaya makan dan minum para pekerja benteng hingga selesainya
benteng itu selama tujuh tahun dikerjakan. Ia memiliki usaha yang
merambah ke seluruh Nusantara. Ratusan buah perahu dimodali dengan
tenunan Buton berlayar ke Maluku dan ditukar dengan rempah rempah yang
kemudian dijual diberbagai pasaran Jawa dan Sumatra hingga wilayah
Johor.
Lahan perkebunannya berupa jati tersebar di banyak kadie
mulai Sampolawa, Wawoangi, Batauga, Kaesabu, Wolowa, Kamelanta,
Watumotobe, Todanga, Lambelu, Kumbewaha, Kamaru, Lawele hingga
Pangkowulu dan Kambowa. Rakyat dibantunya untuk menanam kapas pada tiap
kebun untuk dijadikan benang dan ditenun menjadi kain dan sarung. Ia
juga mendatangkan perajin emas dari Kalimantan.
Bersama
saudaranya, Sultan Syafiuddin (La Dini) dihabiskan di Bone. Terselip
pula kisah kalau Wa Ode Wau dahulu sangat dekat dengan Sultan Muhammad
Said, putra Sultan Alauddin di Gowa. Dikarenakan masalah politik,
hubungan itu tidak bisa diresmikan. Mungkin inilah sebab mengapa Wa ode
Wau menolak kawin meskipun banyak dilamar oleh pejabat kesultanan. Ia
akhirnya menikah pada usia 70 tahun dengan seorang yarona Kenelupu,
putra La Ode Walanda. Atas jasa jasanya membantu pembangunan negerinya
dan Benteng Wolio, Sara Kesultanan Buton merasa berutang budi sehingga
Wa Ode Wau ditawarkan pembayaran dengan emas dan uang perak tetapi
ditolak dengan halus. Ia menyatakan:
Poleleyakea osara, ayinda
iyaku tey metaku inuncana kupohamba isara topewauna kota siyate, maka
tangkanapo betao kalapena liputa siy teemo duka bhetao kalapena manga
anaku, opuaku muri murina, saangiana manga bheyaose duka simbau ipewauku
siy.
Saya tidak mengharapkan sesuatu pemberian dari Sara
Kerajaan atas pengorbanan harta benda saya terhadap pembangunan
Benteng Wolio tetapi semata mata untuk kepentingan negeri saya sendiri
serta untuk kehormatan Kaumku dan anak cucuku di kemudian hari semoga
mereka ada yang mengikuti jejak saya ini.
Ketika meninggal, ia
meninggalkan harta yang sangat banyak berupa emas, perak, permata dan
berlian. Menurut keterangan Gubernur Jenderal Seutija (Sautijn), pejabat
Kompeni tahun 1734, dan yang dikuatkan oleh Gubernur Jenderal Arnold
Alting serta Residen Brugman, harta kekayaannya adalah tidak kurang dari
180 milyar gulden atau senilai 60 miliar dolar. Harta itu kemudian
dkitanam di dalam tanah oleh Raja Sorawolio La Ode Sribidayan (anak
Angkat Wa Ode Wau). Harta karun itu disebut harta karun Kalamuia. Harta
karun inilah yang dimasukkan dalam pasal 14 Kontrak Perjanjian Pendek
atau Kortoverklaring yang ditanda tangani oleh Sultan Muhammad Asikin
dan Residen Brugman pada 8 April 1906 di atas Kapal De Ruyter.
Demikianlah, benteng perkasa ini ternyata menyimpan kisah tentang
manusia-manusia yang berdedikasi seperti La Buke dan Wa Ode Wau. Benteng
ini memahatkan sejumlah nama-nama yang berdedikasi demi negeri. Benteng
ini mencatat tentang mereka yang ikhlas menjadi martir demi sesuatu
yang lebih besar, demi inspirasi serta gagasan yang tak pernah habis.
***
Ada begitu banyak kisah-kisah yang nyaris lenyap dalam ingatan kolektif
manusia yang singgah. Melihat benteng sebesar ini beserta tata kota
yang rapi, apakah gerangan yang dibayangkan Arung Palakka? Mungkinkah ia
membayangkan peradaban yang merupakan titik puncak dari upaya
pergulatan manusia menemukan jawaban atas terjangan masalah yang
dihadapinya? Mungkinkah ia berpikir bahwa manusia boleh menjelajah
hingga ke negeri jauh, melanglangbuana serupa awan di langit, namun
hasrat kuat mewariskan peradaban adalah bagian dari persembahan generasi
masa silam kepada generasi masa depan?
Ia lalu memikirkan seribu
benteng di negeri Buton. Pikirannya berkelana hingga ke benteng-benteng
terjauh dan rakyatnya yang siap sedia bertarung nyawa untuk melindungi
diri. Permenungan itu membawanya pada sekuntum refleksi yang melampaui
segenap teori dan filsafat peperangan. Ia menyaksikan sebuah pertahanan
yang bermaksud melindungi perjalanan di jalan spiritualitas. Ia juga
melihat indahnya pertanyaan filosofis yang berpangkal pada perenungan
tentang hidup yang diaktualkan dalam ratusan benteng yang disebar di
berbagai sudut pulau. Ia juga melihat sebuah visi tentang kota modern.
Batinnya tak henti bertanya mengapa bangsa Buton membangun ratusan
benteng-benteng. Ia sadar bahwa nenek moyang Bugis tak banyak membangun
benteng untuk melindungi warganya. Sementara nenek moyang mereka telah
membangun ratusan benteng di berbagai penjuru pulau demi mempertahankan
sesuatu. Lantas, sedemikian pentingkah nyawa bagi mereka?
Sebuah
benteng adalah sebuah pertahanan. Rentang panjang pengalaman pria Bugis
ini cukup untuk memberinya informasi betapa pentingnya sebuah benteng
demi menyelamatkan peradaban. Bangsa Eropa seperti Portugis, Belanda dan
Inggris membangun benteng sebagai tempat pertahanan, demikian pula
dengan bangsa Arab dan Timur Tengah. Bahkan di Nusantara, bangsa
Portugis membangun benteng-benteng perkasa di Maluku Utara. Ada semacam
konsensus universal bahwa benteng sangat vital bagi sebuah kawasan yang
senantiasa dirundung bencana, kawasan yang selalu ditantang berbagai
kekuatan yang hendak meremukkan peradaban. Tapi, benteng yang tengah
disaksikannya ini amat berbeda dengan benteng-benteng lain yang berdiri
di Maluku atau pesisir barat Nusantara. Bahkan Benteng Somba Opu yang
menjadi sumbu utama pertahanan Gowa justru tidak sebesar dan semegah
benteng yang terbuat dari batu-batu karang yang tersusun rapi ini.
Bagi pihak kesultanan, benteng adalah bagian dari konsep pertahanan.
Benteng melengkapi sistem pertahanan lain yang membentang di sepanjang
pesisir pulau dan menempatkan rakyat sebagai subyek penting dalam
pertahanan. Selain benteng, sistem pertahanan itu adalah Barata, Matana
Sorumba, Pata Limbona, maupun pertahanan Bhisa Patamiana.
Barata
adalah kerajaan kecil yang diberi otonomi seluas-luasnya termasuk
mempertahankan diri. Barata terdiri atas empat yaitu Muna, Kulisusu,
Tiworo, dan Kaledupa. Sedangkan Matana Sorumba (Jarum yang sangat tajam)
yaitu prajurit dalam menjaga wilayah daratan kesultanan merupakan
anggota masyarakat yang telah terpilih, terlatih dan teruji kemampuannya
dalam hal keprajuritan. Pertahanan Bonto adalah tugas untuk menjaga
keutuhan ibu kota kesultanan yang dikelilingi sebuah benteng. Inti
kekuatan pertahanan Kesultanan Buton ada pada pata limbona terdapat
dalam wilayah Keraton Wolio yang setiap limbo dipimpin oleh seorang
Bonto.
Pertahanan bhisa patamiana yang mempunyai tugas dalam
pertahanan adalah pertahanan kebathinan yang mempunyai kedudukan dalam
ibu kota dengan mengandalkan kekuatan supranatural dalam mengetahui
keberadaan musuh pemerintah Kesultanan. Mereka berupaya untuk
menghancurkan musuh yang akan merongrong keutuhan wilayah dan
pemerintahan kesultanan atas izin Yang Maha Kuasa.
Apakah
gerangan yang dibayangkan siapapun yang menyaksikan benteng perkasa ini?
Mungkinkah orang-orang membayangkan sebuah bangunan yang merupakan
bangunan pertahanan terluas yang pernah dilihatnya di jazirah timur. Di
satu sisi, benteng ini adalah symbol pertahanan. Tapi di sisi lain,
benteng ini adalah perlambang dari hasrat kuat bangsa Buton untuk
melindungi segenap rakyatnya dari segala marabahaya yang setiap saat
mengancam. Hasrat melindungi serta ancaman yang datang terus-menerus
ibarat dua sisi sayap pengetahuan yang kemudian menerbangkan kesultanan
untuk membangun sebuah karya arsitektur yang fantastis pada zamannya.
Inilah suatu bangsa yang hari-harinya adalah mempertahankan dan
melindungi segenap warganya. Inilah suatu bangsa yang ketika datang
serangan dari musuh, maka secara spontan seluruh lapisan masyarakatnya
akan mengambil bagian untuk berjuang demi menghancurkan musuh dalam
rangka mempertahankan kesultanan. Inilah suatu bangsa, yang bertahan
dari segala serangan demi mendirikan layar pencarian eksistensi diri di
jagad spiritualitas.
Di Nusantara, beberapa bangsa telah
membangun benteng sebagai tempat perlindungan. Bahkan Raja Gowa I
Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ Kallona juga telah
membangun benteng pada tahun 1545. Benteng yang kemudian hari disebut
Benteng Fort Rotterdam itu memiliki bahan dasar tanah liat yang kemudian
diganti dengan batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada
di daerah Maros. Benteng itu berbentuk seperti seekor penyu yang hendak
merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuk, sangat jelas filosofi
Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu
pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di darat maupun laut. Di saat yang
tak begitu jauh, bangsa asing yang singgah ke Nusantara juga membangun
benteng yakni Benteng Belgica dan Benteng Nassau di Banda Neira[11],
juga beberapa buah benteng yang didirikan Portugis di Ternate.
Aktualitas itu nampak pada sudut-sudut benteng memiliki yang bentuk dan
falsafah unik. Benteng yang berdiri kokoh di atas bukit itu memiliki 12
pintu atau lazim disebut lawa. Angka 12 menurut keyakinan masyarakat
adat Buton adalah mewakili 12 lubang keluar pada tubuh manusia.
Lawa atau pintu gerbang didesain sebagai pintu penghubung antara benteng
menuju sederetan kampung di sekitarnya. Setiap lawa merupakan
representasi atas wilayah. Kata lawa selalu mendapat akhiran "na" (nya)
sesuai dengan gramatika bahasa yang pada masanya menjadi bahasa
pemersatu di jazirah Kesultanan Buton. Akhiran na berfungsi sebagai
pengganti kata milik. Dari 12 lawa, terdapat Lawana Rakia, Lawana Lanto,
Lawana Labunta, Lawana Kampebuni, Lawana Waborobo, Lawana Dete, Lawana
Kalau, Lawana Wajo/ Bariya, Lawana Burukene/ Tanailandu, Lawana Melai,
Lawana Lantongau, dan Lawana Gundu-Gundu. Setiap lawa memiliki bentuk
yang berbeda. Perbedaan itu dapat dilihat dari bentuk dan materi yang
digunakan, ada yang besar, sedang, ada yang hanya terbuat dari batu dan
ada juga yang dipadukan dengan kayu, semacam gazebo yang berfungsi
sebagai menara pengintai.
Benteng tersebut berbentuk huruf “dal”
dalam aksara Arab. Sementara tak jauh dari Benteng Wolio terdapat
Benteng Baadia yang berbentuk huruf “alif”. Masih dalam radius pandangan
mata, terdapat Benteng Sorawolio yang berbentuk huruf “mim”. Ketiga
benteng ini membentuk lukisan semiotika yang membentuk kata Adam,
sebagai manusia pertama, juga kata Ahmad sebagai nama lain Rasulullah.
Artinya, benteng-benteng itu menyimpan satu teka-teki semiotika yang
mesti ditemukan maknanya, ditemukan pesan-pesan spiritual di baliknya
hingga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi para pejalan
spiritual, benteng adalah serupa tampilan lahir diri manusia. Diri bukan
segala-galanya. Bukan pula sesuatu yang esensial. Diri hanyalah satu
tahapan dalam perjalanan menuju Tuhan. Sejak masa Sultan Dayanu
Ikhsanuddin tahun 1614 yang bijaksana, para leluhur telah menyusun
tahapan-tahapan perjalanan spiritual. Mereka menyusun tahapan yaitu
harta sebagai aspek paling pertama, kemudian diri, negeri, hukum,
kemudian agama. Untuk menjadi manusia sempurna, maka kita harus
meninggalkan semuanya secara perlahan dan hanya memilih jalan agama.
Keyakinan ini sudah muncul dalam falsafah hidup yang berbunyi:
Nainda-indamo arata somanamo karo
Nainda-indamo karo somanamo lipu
Nainda-indami lipu somanamo sara
Nainda-indamo sara somanamo agama
Tidak-tidaklah harta asal diri
Tidak-tidaklah diri asal negeri
Tidak-tidaklah negeri asal hukum
Tidak-tidaklah hukum asal Agama
Falsafah itu bisa dimaknai secara sederhana. Bahwa di atas harta, masih
ada diri pribadi. Di atas diri, masih ada negeri, dan di atasnya masih
ada hukum. Di atas hukum, ada jalan agama atau jalan Tuhan sebagai
tujuan utama. Jalan agama atau jalan Tuhan mesti ditempatkan sebagai
tujuan tertinggi dari proses gerak manusia. Ketika Tuhan dimaknai
sebagai titik terakhir dari orientasi gerak manusia, maka jalan agama
mesti ditempatkan sebagai bagian paling penting dari ziarah perjalanan
manusia. Ini mengingatkan pada filosofi bahwa di atas syariat ada
hakikat, dan di atas hakikat ada makrifat, atau tangga-tangga perjalanan
untuk menggapai Tuhan.
Demi melepaskan apa yang disebut diri,
orang-orang tua terdahulu berani untuk melepas harta, dan melepaskan
nyawanya. Semua bentuk pengorbanan diarahkan pada negeri (lipu), yang
pada akhirnya juga diikhlaskan demi agama. Itu bisa terbaca pada syair
berikut:
Manga yincia mancuana morikana
Pituwulinga abinasa arataana
Tumbasakamo bholiakamo abinasa
Somanampuu bhea malape karona
Kaapaaka rampana o Karo yitu
Osiytumo tao katondona Lipu
Yisarongiaka Lipu yitu oanata
Tee malingu wutitinai bhawine
Dadiakanamo mancuana morikana
Yindaa meri apabinasa karona
Pitu wulinga hengga amateakea
Somana mpuu bhea malape lipuna
Mereka orang tua terdahulu
Tujuh kali hancur hartanya ;
Tawakkal biarkan binasa ;
Asalkan saja dirinya baik ;
Oleh sebab karena diri itu ;
Itulan yang menjadi benteng negeri ;
Yang disebut negeri itu seumpama anak kita ;
Dan semua keluarga perempuan
Karena itu orang tua terdahulu
Tidak segan menghancurkan dirinya ;
Tujuh kali hingga menjadi syahid ;
Asalkan saja untuk kebaikan negerinya
Filosofi ini mengandung negasi sekaligus rekonstruksi. Hal yang
disangkal adalah harta, diri, dan negara. Dan yang hendak ditegakkan
adalah jalan agama. Bukan berarti bahwa orang Buton mengajarkan sikap
untuk tidak membela negara. Mereka hanya menegaskan bahwa membela negara
hanyalah satu tahapan dalam proses menuju jalan Tuhan. Jika hidup
didedikasikan untuk sesuatu yang lebih substansial, maka harta, diri,
hukum, dan negara, adalah stasiun-stasiun yang dilewati demi
mengorbankan diri di jalan Tuhan. Ini mengingatkan pada konsep maqamat
dalam tasawuf yaitu tempat-tempat persinggahan manusia dalam perjalanan
mencapai Sang Pencipta.
Lantas, apa pula filosofi bangsa Buton
saat membangun benteng tersebut? Mereka tidak hendak mematrikan kejayaan
baik di laut dan di darat. Mereka juga tidak hendak mengungkapkan
epos-epos besar tentang keperkasaan armada yang berlayar hingga tanah
Marege di Australia sana. Mereka mematrikan benteng sebagai bagian dari
filosofi tentang hidup dan kesempurnaan manusia di samudera kehidupan.
Mereka menyusun berlembar-lembar pemikiran yang memotret perjalanan
manusianserta tangga-tangga mendaki kesempurnaan. Dan betapa hebatnya
bangsa Buton yang memiliki filosofi kehidupan yang demikian indah
terjaga. Maka benteng itu adalah simbol dari perjalanan spiritual mereka
yang serupa perahu menyusuri kehidupan. Benteng itu adalah prasasti
dari spirit kemanusiaan yang berlayar di tengah rimba raya kehidupan
yang penuh karang-karang tantangan. Benteng itu adalah aktualitas dari
pahaman filosofis yang digali dari ajaran Islam.
Dilihat lebih
jauh, benteng-benteng itu sesungguhnya hendak mematrikan pandangan
tentang kecintaan di jalan spiritual. Beberapa seniman abad pertengahan
Eropa juga mematrikan kecintaan pada Tuhan melalui benda-benda. Beberapa
seniman Italia seperti Leonardo Da Vinci, Raphael, dan Michelangelo
telah memahatkan kecintaannya pada Tuhan melalui pembangunan Basilika
Santo Petrus yang hingga kini tercatat sebagai salah satu keajaiban
dunia. Ada selaksa gagasan yang berpusar dalam benak.