91 tahun lalu, seorang legenda mungil asli Sulawesi Selatan lahir ke
dunia. Takdir sempat membawanya bertemu Lev Yashin dan membuat kiper
terbaik sepanjang masa itu terpana.
Ia dikenal luas sebagai salah satu legenda terbesar sepakbola
Indonesia. Sosoknya terawetkan di Makassar baik itu karena prestasinya
bersama PSM Makassar dan juga keberadaan patung replika dirinya di
Lapangan Karebosi (meski kini sudah dibongkar). Dialah Ramang, yang oleh
FIFA diakui sebagai sosok yang menginspirasi puncak kejayaan sepakbola
Indonesia di tahun 1950-an.
Hari ini, Jumat (24/4), adalah peringatan ulang tahun ke-91 Ramang
yang lahir di Barru, Sulawesi Selatan pada 24 April 1924. Ia memang
sudah tiada sejak 1987 silam, namun namanya akan selalu dikenang oleh
para penggemar sejati sepakbola Indonesia, terutama bagi fans PSM.
Pria bernama lengkap Andi Ramang memang dikenal sebagai striker kelas
atas Indonesia pada dekade 40-an akhir hingga 60-an. Memiliki tendangan
sangat keras, diberkahi kaki kanan dan kiri yang sama-sama hidup, gemar
melakukan tembakan salto, dan punya kecepatan di atas rata-rata, tak
pelak menjadikan Ramang sebagai pesepakbola nasional terbaik di eranya.
Ia juga begitu terikat dengan PSM, sampai-sampai julukan klub sebagai Pasukan Ramang terinspirasi
dari namanya. Sebab, hampir seluruh kariernya ia habiskan bersama tim
kebanggaan kota Makassar itu. Terbagi dalam dua periode (1947-1960 dan
1962-1968), Ramang mampu mempersembahkan dua gelar perserikatan kepada Juku Eja.
Namun, yang paling fenomenal dari Ramang adalah cerita manisnya
bersama timnas Indonesia. FIFA bahkan pernah mengangkat kisah kehebatan
Ramang ini secara khusus dalam situs resmi mereka dalam peringatan ke-25
tahun kematiannya pada 26 September 2012 lalu.
Diberi judul “Orang Indonesia yang Menginspirasi Puncak Sukses Tahun
1950-an (Indonesian who inspired ’50s meridian), FIFA memusatkan
kegemilangan Ramang ketika memperkuat Tim Merah Putih di
Olimpiade Melbourne 1956. Ajang tersebut dinilai sebagai prestasi paling
mentereng timnas Indonesia di level internasional setelah menjadi
negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia 1938 dengan masih bernama
Hindia-Belanda.
Partai yang paling berkesan, tentu saja saat Indonesia berhasil
menahan imbang 0-0 tim kuat Uni Soviet di babak perempat-final ajang
Olimpiade tersebut. Ibarat kurcaci melawan sekumpulan bajak laut, Ramang
mencuat sebagai kurcaci paling menonjol yang membuat Uni Soviet kalang
kabut dan bahkan hampir menjebol kiper Lev Yashin, yang kini dikenang
sebagai kiper terhebat sepanjang masa.
"Bek-bek Uni Soviet yang bertubuh raksasa langsung terbangun saat
Ramang, penyerang lubang bertubuh kecil, melewati dua pemain dan memaksa
Yashin melakukan beberapa kali penyelamatan. Pada menit ke-84, pemain
berusia 32 tahun itu [Ramang] hampir saja membuat Indonesia unggul, yang
bakal menjadi puncak kejutan, andai saja tendangannya tidak ditahan
oleh pria yang dikenal luas sebagai kiper terhebat dalam sejarah
sepakbola," demikian tulis FIFA.
Ramang sendiri menjelaskan, ia seharusnya bisa menjebol gawang Yashin
dalam laga yang hingga kini dikenang bak cerita dongeng oleh masyarakat
Indonesia. “Ketika itu saya hampir mencetak gol, tapi baju saya ditarik
dari belakang oleh pemain lawan,” tuturnya.
Setelah Uni Soviet tahu siapa sosok sesungguhnya di balik nomor
punggung 11 timnas Indonesia, mereka lantas memberikan penjagaan di
partai ulangan. Pada akhirnya, Indonesia, yang saat itu dilatih pelatih
legendaris Antun Pogacnik, terpaksa takluk 4-0 sehingga gagal melaju ke
semi-final.
Status Macan Asia yang disematkan kepada Indonesia sebenarnya tak
bisa dilepaskan dari Ramang. Dalam sebuah tur ke Asia Timur pada tahun
1953, Indonesia mampu memenangkan lima dari enam laga yang
dipertandingkan, kalah sekali dari Korea Selatan. Menariknya, Ramang
mencetak 19 gol dari total 25 gol Indonesia di keenam pertandingan
tersebut!
Kisah sukses Ramang dan timnas Indonesia tak berhenti di situ. Ia
hampir membawa Indonesia ke Piala Dunia 1958 setelah dua golnya
menyingkirkan Tiongkok dengan skor agregat 4-3 di babak kualifikasi.
Indonesia kemudian melaju ke putaran kedua kualifikasi dan tergabung
dengan Sudan, Israel, dan Mesir. Sayang, Indonesia mengundurkan diri
lantaran enggan bertanding melawan Israel karena alasan politik. Andai
menjadi juara grup, Ramang dkk. bakal lolos ke Swedia untuk melakoni
debut Piala Dunia dengan nama Indonesia.
Ramang turut menginspirasi kesuksesan Indonesia menahan imbang Jerman
Timur 2-2 dalam sebuah laga persahabatan di Jakarta pada 1959, sebelum
sukses mengoleksi 20 gol dalam Turnamen Merdeka 1960 di mana Indonesia
muncul sebagai juara ketiga.
Sayang, kisah mengesankan Ramang di dunia sepakbola tidak semanis nasibnya di kehidupan sehari-hari. Ya, meski punya skill mumpuni,
Ramang hidup di sebuah era di mana sepakbola bukanlah sebuah pilihan
hidup menjanjikan. Ia sempat menyebut pesepakbola tidak lebih berharga
dari kuda pacuan. “Kuda pacuan dipelihara sebelum dan sesudah
bertanding, menang atau kalah. Tapi pemain bola hanya dipelihara kalau
ada panggilan. Sesudah itu tak ada apa-apa lagi,” katanya.
Akibatnya, jeratan kemiskinan tak mampu ia tampik. Bekerja serabutan
dengan gaji seadanya ia lakukan demi menyambung hidup keluarganya. Kasus
suap dalam Skandal Senayan 1962 yang menyeret namanya menggambarkan
betapa pesepakbola seperti Ramang kurang diapresiasi sebagai aset
nasional.
Sejak kasus itu, Ramang dilarang bermain untuk timnas seumur hidup
dan nasibnya terus terpuruk. Ia sempat berkarier menjadi pelatih PSM dan
Persipal Palu, namun tersingkir secara perlahan akibat tak memiliki
sertifikat kepelatihan. Ramang meninggal dunia di usia 59 tahun akibat
penyakit paru-paru tanpa bisa berobat di rumah sakit akibat kekurangan
biaya. Ironis memang, namun itulah suka-duka Ramang yang kisahnya akan
terus dikenang.
SUMBER : Goal.com
0 komentar:
Post a Comment